Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors

Pendidikan Kesetaraan: Apakah Sistemnya Ramah untuk Orang Dewasa?

Banyak orang dewasa di Indonesia masih memendam keinginan untuk kembali belajar demi meraih ijazah yang tertunda. Mereka adalah pekerja keras, ibu rumah tangga, buruh, atau mereka yang pernah terhenti pendidikannya karena keterbatasan ekonomi. Namun saat semangat itu tumbuh dan mereka melangkah ke jalur pendidikan kesetaraan, realita yang ditemui tak selalu sesuai harapan. Sistem yang ada belum sepenuhnya ramah untuk usia dewasa, terutama karena tidak adanya Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) dan panjangnya waktu tempuh pendidikan dari Paket A hingga Paket C.

Bagi peserta dewasa, menjalani masa pendidikan selama 9 hingga 10 tahun merupakan tantangan besar. Mereka bukan anak-anak yang bisa mengikuti pola pembelajaran formal dari nol. Banyak dari mereka sudah memiliki pengalaman kerja, keahlian hidup, bahkan pengetahuan praktis yang semestinya bisa diakui sebagai bagian dari proses belajar. Sayangnya, sistem pendidikan kesetaraan di banyak lembaga masih belum mengakomodasi pengakuan tersebut. Akibatnya, peserta dewasa dipaksa untuk memulai dari awal tanpa pertimbangan atas pengalaman hidup yang mereka bawa.

Ketiadaan RPL menjadi akar permasalahan utama. Tanpa adanya pengakuan terhadap pengalaman di luar kelas, proses pendidikan jadi kaku dan tidak relevan. Padahal, esensi pendidikan kesetaraan seharusnya memberikan fleksibilitas dan penghargaan terhadap pembelajaran non-formal yang telah berlangsung bertahun-tahun. Tanpa RPL, seseorang yang sudah puluhan tahun bekerja tetap dianggap ‘belum belajar apa-apa’ oleh sistem.

Masalah lain yang tak kalah berat adalah durasi waktu pendidikan yang sangat panjang. Jika setiap jenjang—Paket A, B, dan C harus dijalani selama 3 tahun hingga 4 Tahun, maka peserta dewasa harus mengorbankan hampir satu dekade hanya untuk mengejar setara SMA. Ini jelas tidak realistis. Di tengah tuntutan kerja, keluarga, dan usia yang tidak lagi muda, durasi belajar yang lama menjadi penghalang besar. Tidak sedikit yang akhirnya menyerah, bukan karena tidak mampu, melainkan karena sistemnya tidak berpihak pada kenyataan hidup mereka.

Alih-alih menjadi solusi, pendidikan kesetaraan justru terasa seperti beban tambahan. Banyak peserta dewasa merasa tidak dihargai, tidak dianggap mampu, dan diperlakukan seperti anak sekolah. Padahal mereka datang dengan segudang tanggung jawab, membawa harapan besar demi masa depan yang lebih baik. Mereka layak mendapatkan sistem yang lebih manusiawi, fleksibel, dan relevan dengan kondisi mereka.

Sudah saatnya pemerintah dan penyelenggara pendidikan melihat lebih dalam persoalan ini. Pendidikan kesetaraan tidak bisa disamaratakan untuk semua umur. Dibutuhkan reformasi menyeluruh—mulai dari penerapan RPL yang konkret, penyesuaian waktu belajar, hingga metode pengajaran yang sesuai dengan karakter orang dewasa. Fleksibilitas jadwal, pembelajaran berbasis modul digital, dan asesmen berbasis kompetensi harus menjadi norma baru, bukan sekadar wacana.

Pendidikan adalah hak semua warga negara, tanpa memandang usia. Sistem yang ada sekarang seharusnya tidak menjebak orang dewasa dalam birokrasi panjang dan waktu belajar yang tidak efisien. Justru harus menjadi jembatan bagi mereka yang ingin bangkit dan mengejar ketertinggalan.

Jika Anda seorang peserta didik dewasa yang tengah menjalani pendidikan kesetaraan, bagaimana pengalaman Anda sejauh ini? Apakah sistem saat ini membantu atau justru menghambat? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar dan mari kita dorong perubahan bersama. Karena pendidikan bukan hanya soal sekolah, tapi tentang menghargai setiap proses belajar dalam hidup manusia.

Baca juga:

Tinggalkan Balasan