Pendidikan adalah fondasi utama pembangunan manusia dan bangsa. Pendidikan yang berkualitas dan merata merupakan hak asasi setiap warga negara, termasuk mereka yang terpinggirkan dari sistem pendidikan formal. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan non-formal seperti PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) Kaki Langit hadir sebagai alternatif bagi masyarakat yang tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan formal secara penuh.
PKBM Kaki Langit awalnya dikenal dengan komitmen kuat memberikan layanan pendidikan tanpa biaya alias gratis, sebagai wujud kepedulian terhadap pemerataan akses pendidikan. Namun, perkembangan terbaru menunjukkan adanya perubahan kebijakan yang signifikan, yakni pencabutan subsidi yang menyebabkan biaya pendidikan kini harus dibebankan langsung kepada peserta didik. Kondisi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, tantangan, dan bahkan keresahan bagi masyarakat yang selama ini mengandalkan layanan pendidikan gratis tersebut.
Latar Belakang PKBM Kaki Langit
PKBM Kaki Langit didirikan oleh anggota DPRD DKI Jakarta, H. Syarief, yang dikenal aktif dalam memperjuangkan akses pendidikan bagi warga yang kurang beruntung. Pada Februari 2022, H. Syarief secara terbuka menyatakan bahwa layanan pendidikan di PKBM Kaki Langit disediakan tanpa dipungut biaya alias gratis. Pernyataan ini menjadi angin segar bagi banyak orang, terutama mereka yang selama ini mengalami hambatan ekonomi untuk mengakses pendidikan.
“Peserta didik di PKBM ini tidak dipungut bayaran alias gratis.”
— H. Syarief
Sumber: BeritaJakarta.id
Kebijakan pendidikan gratis ini tentu membawa harapan besar bagi masyarakat yang membutuhkan pendidikan agar mampu meningkatkan kualitas hidup dan masa depan. PKBM Kaki Langit berperan sebagai jembatan bagi mereka yang putus sekolah, memberikan kesempatan untuk belajar kembali, memperbaiki kompetensi, dan memperoleh ijazah setara pendidikan formal.
Perubahan Kebijakan: Pencabutan Subsidi dan Beban Biaya Baru
Surat undangan rapat pengelola PKBM Kaki Langit
Perubahan kebijakan tersebut mulai terungkap dalam rapat Yang Diselenggarakan oleh PKBM Kaki Langit dengan wali murid pada Juni 2025. Dalam rapat tersebut, pengelola menyampaikan bahwa subsidi pendidikan yang selama ini diberikan sudah dicabut tanpa penjelasan rinci mengenai asal subsidi tersebut, alasan subsidi dicabut dan Akibatnya, seluruh biaya pendidikan kini harus ditanggung oleh peserta didik secara langsung.
Beberapa biaya yang dibebankan kepada peserta didik meliputi:
- Ujian Kenaikan Kelas (UKK): Rp 100.000 per peserta
- Ujian Pendidikan Kesetaraan (UPK): Rp 200.000 per peserta
- Penebusan Ijazah: Rp 1.700.000 per peserta
- Iuran Infak Bulanan: Rp 50.000 per bulan
Dengan demikian, total biaya yang harus disiapkan peserta didik bisa mencapai lebih dari Rp 2.000.000, sebuah angka yang cukup besar bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini jelas berbeda jauh dengan janji awal yang menyatakan bahwa pendidikan di PKBM Kaki Langit adalah gratis.
Salah satu hal yang ditekankan dalam rapat tersebut adalah konsekuensi jika peserta didik tidak membayar biaya penebusan ijazah sebesar Rp 1.700.000. Ijazah yang sudah selesai dicetak tidak akan langsung diberikan kepada peserta didik, melainkan akan ditahan oleh pengelola PKBM Kaki Langit. Apabila tunggakan pembayaran ini tidak diselesaikan, maka ijazah akan dikembalikan ke dinas terkait. Hal ini berarti peserta didik tidak akan memperoleh ijazah yang merupakan dokumen penting sebagai bukti kelulusan dan hak untuk melanjutkan pendidikan atau memasuki dunia kerja.
Praktik ini tentu menimbulkan dilema yang serius, mengingat ijazah adalah hak peserta didik dan sangat dibutuhkan untuk masa depan mereka. Penahanan ijazah dapat menghambat kesempatan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya atau memperoleh pekerjaan yang layak.
Implikasi Sosial dan Ekonomi
Perubahan kebijakan ini membawa dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Peserta didik dari keluarga kurang mampu terancam tidak dapat menyelesaikan pendidikan mereka karena terbentur biaya yang harus dibayar. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan justru menjadi beban yang menambah tekanan ekonomi keluarga.
Selain itu, kebijakan ini juga dapat memicu ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat terhadap pengelola PKBM dan pihak-pihak terkait yang terlibat. Rasa percaya masyarakat terhadap janji layanan pendidikan gratis berkurang, sehingga potensi menurunnya partisipasi dalam pendidikan non-formal menjadi tantangan yang nyata.
Sudut Pandang Hukum dan Perlindungan Hak Peserta Didik
Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks hukum, penahanan ijazah karena alasan peserta didik belum melunasi biaya pendidikan adalah hal yang dilarang. Ombudsman Republik Indonesia secara tegas menyatakan bahwa penahanan ijazah merupakan bentuk maladministrasi dan pelanggaran terhadap hak peserta didik. Dalam artikel resmi mereka berjudul “Menyoal Penyerahan Ijazah di Satuan Pendidikan”, Ombudsman menyampaikan:
“Tidak dibenarkan satuan pendidikan menahan ijazah dengan alasan siswa belum melunasi biaya. Ijazah adalah hak peserta didik dan harus diserahkan.”
Sumber: Ombudsman.go.id
Regulasi yang melindungi hak peserta didik antara lain:
- Pasal 52 huruf h PP No. 48 Tahun 2008, yang menjamin hak akses ijazah tanpa diskriminasi bagi semua peserta didik.
- Permendikbudristek No. 1 Tahun 2022, yang melarang pungutan yang membebani peserta didik pada layanan pendidikan dasar dan menengah.

Dengan demikian, kebijakan penahanan ijazah bertentangan dengan aturan hukum dan prinsip keadilan. Hal ini penting menjadi perhatian serius pengelola pendidikan dan pemerintah agar tidak menimbulkan kerugian hak peserta didik.
Kesimpulan: Ijazah adalah Hak, Bukan Alat Tekanan Administratif
Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara, dan ijazah merupakan bagian penting dari hak tersebut. Kebijakan penahanan ijazah karena alasan biaya, meskipun terjadi akibat perubahan sumber pendanaan, tidak seharusnya menghalangi peserta didik memperoleh dokumen yang menjadi haknya. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memastikan bahwa setiap peserta didik mendapatkan akses penuh terhadap hasil pendidikannya, tanpa hambatan administratif yang membebani.