Di bawah langit Jakarta yang kelabu, ribuan truk terdiam dalam antrean panjang. Mesin-mesin yang biasanya menderu kini membisu, terjebak dalam kemacetan yang tak berujung. Tanjung Priok, gerbang utama logistik negeri, lumpuh oleh tumpukan kontainer dan waktu yang terbuang sia-sia.
Ini bukan sekadar kemacetan biasa. Ini adalah cermin retak dari sistem logistik nasional yang rapuh. Ketidakakuratan dalam sistem penumpukan kontainer menyebabkan waktu sandar kapal menjadi lebih lama, mengarah pada penumpukan dan antrean panjang truk logistik yang keluar dari pelabuhan. Implementasi sistem digital seperti Terminal Operating System (TOS) dan autogate masih terhambat oleh rendahnya tingkat kepatuhan dari para operator logistik.
Ketika dunia bergerak cepat, kita tertinggal oleh sistem yang lambat. Ketika negara lain mempercepat arus logistik mereka, kita masih bergelut dengan koordinasi yang lemah dan infrastruktur yang usang. Kemacetan di Tanjung Priok bukan hanya tentang kendaraan yang tak bergerak, tetapi tentang ekonomi yang terhambat, peluang yang hilang, dan kepercayaan yang memudar.
Namun, di balik semua ini, ada harapan. Harapan bahwa kita bisa belajar dari kesalahan, memperbaiki yang rusak, dan membangun sistem logistik yang tangguh dan efisien. Harapan bahwa suatu hari nanti, Tanjung Priok akan kembali menjadi simbol kemajuan, bukan kemacetan.
Karena pada akhirnya, kemacetan ini bukan hanya tentang jalan yang tersendat, tetapi tentang masa depan logistik Indonesia yang harus segera dibenahi.