Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors

Apa Itu ‘Quiet Quitting’? Fenomena Baru di Dunia Kerja

Belakangan ini, mungkin kamu sering mendengar atau membaca sebuah istilah baru yang ramai dibicarakan di media sosial dan lingkungan profesional: quiet quitting. Mendengar namanya, banyak yang langsung salah mengartikan sebagai tindakan mengundurkan diri atau resign secara diam-diam. Padahal, maknanya tidak sesederhana itu.

Fenomena ini sebenarnya bukanlah hal yang benar-benar baru, namun istilahnya yang modern membuatnya kembali menjadi sorotan. Ini adalah sebuah respons terhadap dinamika dunia kerja yang terus berubah. Untuk memahaminya secara utuh, penting bagi kita untuk melihat apa sebenarnya arti dari quiet quitting, mengapa ia bisa muncul, dan apa dampaknya bagi karyawan maupun perusahaan. Mari kita bedah bersama.

Mendefinisikan “Quiet Quitting”: Lebih dari Sekadar Rasa Malas

Pertama-tama, mari kita luruskan pemahaman. Quiet quitting bukanlah tentang berhenti dari pekerjaan. Seseorang yang melakukan quiet quitting tidak lantas berhenti datang ke kantor atau mengabaikan semua tugasnya. Sebaliknya, quiet quitting adalah sebuah tindakan sadar untuk berhenti dari gagasan atau budaya kerja yang menuntut karyawan untuk selalu “memberi lebih” atau going above and beyond.

Seorang “quiet quitter” adalah karyawan yang memutuskan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang tertulis di deskripsi pekerjaannya saja. Tidak lebih, tidak kurang. Mereka akan menyelesaikan tugasnya dengan baik selama jam kerja, namun menolak untuk mengambil pekerjaan ekstra, menjawab email atau chat di luar jam kantor, atau terlibat dalam “hustle culture” yang menuntut pengorbanan waktu dan energi pribadi tanpa kompensasi yang sepadan.

Pola Pikirnya Begini: “Quiet quitting adalah sebuah penolakan terhadap gagasan bahwa nilai seorang karyawan diukur dari seberapa banyak mereka mau berkorban di luar jam kerja. Ini adalah sebuah gerakan sadar untuk mengambil kembali batasan dan keseimbangan hidup.”

Jadi, ini sangat berbeda dengan rasa malas. Orang yang malas cenderung tidak menyelesaikan kewajiban utamanya, sementara orang yang melakukan quiet quitting tetap menyelesaikan kewajibannya dengan baik, namun hanya sebatas itu.

Mengapa Fenomena Quiet Quitting Muncul dan Menyebar Luas?

Munculnya tren quiet quitting bukanlah tanpa sebab. Ini adalah akumulasi dari berbagai faktor yang terjadi di dunia kerja modern, terutama pasca-pandemi. Beberapa pemicu utamanya antara lain:

  • Kelelahan Pasca-Pandemi (Post-Pandemic Burnout): Banyak karyawan merasa terkuras energinya setelah bekerja dengan intensitas sangat tinggi selama masa pandemi, di mana batasan antara rumah dan kantor menjadi sangat kabur.
  • Stagnasi Gaji dan Kurangnya Apresiasi: Karyawan merasa bahwa usaha ekstra dan kerja keras mereka tidak sebanding dengan kompensasi atau pengakuan yang mereka terima. Mereka merasa kontribusi lebih tidak dihargai, sehingga memilih untuk bekerja secukupnya.
  • Budaya Kerja yang Selalu “On” (*Always-on Culture*): Tuntutan dari perusahaan atau atasan agar karyawan selalu bisa dihubungi dan responsif bahkan di luar jam kerja resmi, yang pada akhirnya menggerus waktu personal.
  • Kurangnya Batasan Peran yang Jelas: Deskripsi pekerjaan yang terlalu umum atau kabur seringkali membuat karyawan terus-menerus dibebani tugas tambahan yang sebenarnya bukan merupakan tanggung jawab utama mereka.
  • Pergeseran Prioritas Generasi Baru: Generasi Milenial dan Gen Z cenderung lebih menghargai kesehatan mental, keseimbangan hidup (*work-life balance*), dan pekerjaan yang bermakna, daripada sekadar loyalitas buta pada satu perusahaan.

Dua Sisi Mata Uang: Perspektif Karyawan vs. Perspektif Perusahaan

Fenomena ini tentu memiliki dampak yang berbeda jika dilihat dari dua sudut pandang yang berlawanan.

Dari Sisi Karyawan:

Quiet quitting bisa dilihat sebagai sebuah strategi pertahanan diri. Ini adalah cara untuk melindungi diri dari burnout, menetapkan batasan yang lebih sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta mengambil kembali kendali atas waktu dan energi mereka. Bagi sebagian orang, ini adalah cara untuk “bertahan” di pekerjaan yang tidak lagi memuaskan sambil tetap mencari peluang lain.

Namun, ada juga potensi risikonya. Karyawan yang melakukan quiet quitting mungkin akan dianggap tidak termotivasi atau tidak memiliki inisiatif, yang pada akhirnya bisa menghambat peluang mereka untuk mendapatkan promosi atau proyek-proyek penting.

Dari Sisi Perusahaan:

Bagi perusahaan, quiet quitting adalah sebuah sinyal peringatan yang sangat jelas. Dampak negatifnya bisa berupa penurunan laju inovasi, kurangnya inisiatif dari karyawan, dan menurunnya tingkat keterlibatan (*employee engagement*). Tim menjadi kurang solid karena setiap orang hanya mengerjakan bagiannya masing-masing tanpa ada semangat kolaborasi ekstra.

Namun, di sisi lain, ini adalah sebuah *feedback* yang sangat berharga. Fenomena ini memaksa perusahaan untuk melakukan introspeksi: “Apakah budaya kerja kita sudah sehat? Apakah beban kerja yang kita berikan sudah realistis? Apakah kita sudah cukup menghargai dan mengapresiasi karyawan kita?”

Apakah Quiet Quitting adalah Solusi yang Tepat?

Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban yang pasti. Sebagai sebuah mekanisme pertahanan diri jangka pendek untuk mencegah burnout, quiet quitting bisa jadi langkah yang bisa dipahami dan bahkan diperlukan. Ini memberikan ruang bagi karyawan untuk “bernapas”.

Namun, ini bukanlah solusi jangka panjang yang berkelanjutan. Jika akar masalahnya adalah lingkungan kerja yang benar-benar toksik, pekerjaan yang sangat tidak sesuai dengan passion, atau atasan yang tidak suportif, maka quiet quitting hanya menunda keputusan yang tak terhindarkan, yaitu mencari lingkungan kerja baru yang lebih sehat.

Solusi yang lebih ideal adalah terbukanya komunikasi yang jujur dan konstruktif antara karyawan dan manajer. Karyawan perlu berani menyuarakan batasannya, dan manajer perlu belajar untuk menghargai batasan tersebut sambil menyelaraskan ekspektasi dan beban kerja secara adil.

Kesimpulan: Sebuah Gejala, Bukan Penyakitnya

Pada akhirnya, quiet quitting bukanlah penyakit itu sendiri, melainkan sebuah gejala. Gejala dari budaya kerja yang mungkin sudah tidak seimbang, tuntutan yang tidak realistis, dan pergeseran nilai-nilai tentang apa arti sebuah “pekerjaan” dalam kehidupan kita.

Bagi kita sebagai karyawan, fenomena ini adalah pengingat untuk terus mengevaluasi hubungan kita dengan pekerjaan, menetapkan batasan yang sehat, dan tidak takut untuk memprioritaskan kesejahteraan diri. Bagi perusahaan, ini adalah panggilan untuk mendengarkan lebih baik dan membangun dunia kerja yang lebih manusiawi.

Pesan Penting: “Fenomena quiet quitting adalah sebuah percakapan besar tentang masa depan dunia kerja: bagaimana kita bisa tetap produktif dan berdedikasi tanpa harus mengorbankan kewarasan dan kehidupan pribadi kita.”

Memahami fenomena ini membantu kita semua, baik sebagai karyawan maupun pemimpin, untuk menavigasi dunia kerja modern dengan lebih bijak.

Tinggalkan Balasan